Hari ini insya Allah saya akan melanjutkan perjalanan ke Kota gudeg Jogja. Dua hari di kota dingin ini saya tidak bisa berbuat banyak. Kecuali diisi dengan ngurus ijazah, ngenet, ketemu temen-temen, makan sate, tidur di kasur berdebu, backup data (lebih tepatnya film-film terbaru sih) di ftp nya mesin.
Kemaren hari saya sempat ketemu dengan bapak ini yang mana sebelum ini saya tidak sempat pamit pada beliau. Sebelum bertemu dengannya saya sudah bersiap sedia untuk dimarahi, maklum saya meninggalkan webnya yang cantik itu tanpa ada yang ngurus. Alhamdulillah banyak yang kami obrolkan, walopun sebelumnya saya disindir (alhamdulillah gak dimarahi) berangkat begitu saja tanpa pamit ataupun pesan.
Banyak agenda saya yang belum terselesaikan disini. Ke DPD, pamitan dengan ustadz, Ngasihin kwitansi, tidur di Sentaurus, ambil tape recorder dan .. ah banyak kali yang belom saya selesaikan. Sekarang saya masih berkutat dengan bekap-bekap data di komputernya Ibon. Entahlah, saya sepertinya sedang merasakan syurga internet di kampus brawijaya ini.
Sejujurnya saya bilang, bagi mahasiswa yang saat ini masih memanfaatkan fasilitas ini. Saran saya pergunakan dengan sebaik-baiknya, karena gak bakal ada fasiltas seperti ini di dunia kerja sana. Ada, itu kalo menjadi staff IT atau bekerja di bidang IT, kalo menjadi kuli biasa mah jangan harap akan menikmati sajian internet seperti ini.
12/29/2005
Tolong, Keluargaku Njelimet
Kasus keluargaku sangat aneh, walaupun secara hukum adalah legal dan sah... Waktu aku berumur 23 th aku menikahi seorang janda cantik berumur 35 th. Janda itu memiliki anak yang juga sangat cantik berusia 12 th. 5 tahun kemudian, anak tiriku saling jatuh cinta dengan ayahku yg duda dan tak lama kemudian mereka menikah.
Hal ini berarti ayahku sekaligus menjadi menantuku,suatu hal yg membingungkanku, sebab anak tiriku sekaligus menjadi ibu tiriku, karena dia menikah dengan ayahku. Komplikasi ini menjadi semakin parah dan kacau balau, karena aku telah punya seorang anak lelaki dengan istriku yg bekas janda itu. Anakku menjadi saudara dari anak tiriku, berarti dia adalah saudara dari ayahku, ini berarti anakku adalah sekaligus pamanku, suatu hal yg membuatku sedih sekali.
Istri ayahku, yg juga anak tiriku, kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti anak perempuan itu adalah cucuku, karena aku adalah suami dari neneknya. Dan sekaligus saudara perempuanku, karena dia adalah anak dari ayahku. Istriku adalah ibu dari anak tiriku, yg juga menjadi ibu tiriku, karena dia adalah istri ayahku. Ini berarti dia adalah istriku, dia juga sekaligus nenekku, karena dia adalah nenek dari saudara perempuanku. Bila istriku adalah nenekku, berarti aku adalah cucunya.
Dan 1 hal yg bikin aku gila bila memikirkannya adalah, sebagai suami dari nenekku, berarti aku menjadi KAKEK DARI DIRIKU SENDIRI ! :(
Hal ini berarti ayahku sekaligus menjadi menantuku,suatu hal yg membingungkanku, sebab anak tiriku sekaligus menjadi ibu tiriku, karena dia menikah dengan ayahku. Komplikasi ini menjadi semakin parah dan kacau balau, karena aku telah punya seorang anak lelaki dengan istriku yg bekas janda itu. Anakku menjadi saudara dari anak tiriku, berarti dia adalah saudara dari ayahku, ini berarti anakku adalah sekaligus pamanku, suatu hal yg membuatku sedih sekali.
Istri ayahku, yg juga anak tiriku, kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti anak perempuan itu adalah cucuku, karena aku adalah suami dari neneknya. Dan sekaligus saudara perempuanku, karena dia adalah anak dari ayahku. Istriku adalah ibu dari anak tiriku, yg juga menjadi ibu tiriku, karena dia adalah istri ayahku. Ini berarti dia adalah istriku, dia juga sekaligus nenekku, karena dia adalah nenek dari saudara perempuanku. Bila istriku adalah nenekku, berarti aku adalah cucunya.
Dan 1 hal yg bikin aku gila bila memikirkannya adalah, sebagai suami dari nenekku, berarti aku menjadi KAKEK DARI DIRIKU SENDIRI ! :(
12/28/2005
Detik ini
Detik ini saya berada di kota yang membesarkan saya selama enam tahun terakhir. Dari pandangan saya yang tidak seberapa jauh ini ternyata memang tak jauh ada perubahan. Wong ditinggalin baru 2 bulan, ya mesti tho. Jujur saya kangen dengan debu-nya tempat tidur TPTIFT, kopi-krimnya UPPTI, Es teh-nya Kafet, Sate padang, martabak mesir, roti cane ... loh kok larinya ke makanan semua ? he he he. Maklum masih dalam suasana perbaikan gizi, walopun kata teman-teman saya sekarang rada gemukan dikit.
"Katanya sekarang kerjanya udah mantepan, kok penampilannya masih kayak gitu aja sih. Jangan-jangan salah ngerantau kali nih ?". Salah seorang teman berkomentar saya datang dengan atribut seperti biasa sejak beberapa tahun yang lalu. Celana cargo, kaos oblong item + baju rangkepan ijo (yang dipake ama tentara tapi bukan yang loreng), sendal plus sendal ransel. Style standar saya dari dulu. Dan sekarang udah gak keliatan beberapa bulan, masih tetap saja seperti itu.
Saya berpikir apakah harus berganti style setelah bekerja di kota buruh sana ? Trus semestinya berpenampilan seperti apa ?
"Pake kemeja, celana yang rapih, sepatu pantopel, rambut klimis trus satu lagi HPnya diganti ! pokoknya keliatan orang yang udah bekerja gitu loh !". Saya ketawa ngakak disaat salah seorang teman bilang seperti itu.
"Bukannya penampilan kayak gitu udah ditempat kerja ? Saya kesini mah mo ngelepas kangen, bukan kerja hehehe. Masa disuruh pake rapih begitu, jangan ah".
Selain ngelepas kangen dengan dinginnya malang (salah satunya) saya juga nagih ijazah ke rektorat + transkrip + legalisir di fakultas. Alhamdulillah birokrasi gak sekomplek saya mau wisuda. 2 Jam-an selesai, cuma ya legalisirnya saja yang agak bribet. 1 lembar seribu, saya legalisir 30 lembar ijazah ama legalisir. Mikirnya sih biar butuh gak bolak-balik.
Hm... dah azan asar, saya kangen sama Masjid perjuangan dulu, masjid Raden Fatah. Akhi... masihkah kau sering bersujud disana ? semoga kita ketemu disana ya
"Katanya sekarang kerjanya udah mantepan, kok penampilannya masih kayak gitu aja sih. Jangan-jangan salah ngerantau kali nih ?". Salah seorang teman berkomentar saya datang dengan atribut seperti biasa sejak beberapa tahun yang lalu. Celana cargo, kaos oblong item + baju rangkepan ijo (yang dipake ama tentara tapi bukan yang loreng), sendal plus sendal ransel. Style standar saya dari dulu. Dan sekarang udah gak keliatan beberapa bulan, masih tetap saja seperti itu.
Saya berpikir apakah harus berganti style setelah bekerja di kota buruh sana ? Trus semestinya berpenampilan seperti apa ?
"Pake kemeja, celana yang rapih, sepatu pantopel, rambut klimis trus satu lagi HPnya diganti ! pokoknya keliatan orang yang udah bekerja gitu loh !". Saya ketawa ngakak disaat salah seorang teman bilang seperti itu.
"Bukannya penampilan kayak gitu udah ditempat kerja ? Saya kesini mah mo ngelepas kangen, bukan kerja hehehe. Masa disuruh pake rapih begitu, jangan ah".
Selain ngelepas kangen dengan dinginnya malang (salah satunya) saya juga nagih ijazah ke rektorat + transkrip + legalisir di fakultas. Alhamdulillah birokrasi gak sekomplek saya mau wisuda. 2 Jam-an selesai, cuma ya legalisirnya saja yang agak bribet. 1 lembar seribu, saya legalisir 30 lembar ijazah ama legalisir. Mikirnya sih biar butuh gak bolak-balik.
Hm... dah azan asar, saya kangen sama Masjid perjuangan dulu, masjid Raden Fatah. Akhi... masihkah kau sering bersujud disana ? semoga kita ketemu disana ya
12/13/2005
Ampunilah kami Ya Allah
Alhamdulillah Sa, tulisan yang sengaja saya tulis bulan Mei yang lalu. Sudah banyak tersebar di media web, dibahas dalam forum, di foward ke milis, di kirim ke buletin board friendster.
Insya Allah saya tidak memusingkan kalo ada orang yang mencatut namanya sebagai penulis tulisan tersebut. Bagi saya, semakin banyak orang yang tau semoga Allah semakin ridho kepada saya. Semoga dengan tulisan itu bisa menggugah kesadaran orang-orang yang saya tuju. Biar saja penulis tulisan itu tidak ada atau tertera hamba Allah atau mungkin ada orang yang berani bikin namanya sebagai penulis. Biarkan saja. Karena sejak awal saya memang tidak ingin diketahui bahwa yang nulis itu adalah saya.
Ya Allah, Engkau maha mengetahui segala apa yang tampak maupun yang tak tampak. Aku berharap keridhoanMu bagi mereka-mereka yang sudah berperan menyebarkan apa-apa yang pernah aku tulis walopun terkadang ada diantara mereka yang menyatut nama. Jangan Engkau hukum kami atas kekhilafan kami ya Allah. Berikan ampunan kepada mereka, dan saya ya Allah.
Ya Allah, karuniakanlah kepada mereka apa-apa yang Engkau karuniakan kepada saya sehingga mereka bisa membuat lebih baik dari apa yang pernah saya lakukan. Ya Allah, hanya kepadamu hamba berharap.
Insya Allah saya tidak memusingkan kalo ada orang yang mencatut namanya sebagai penulis tulisan tersebut. Bagi saya, semakin banyak orang yang tau semoga Allah semakin ridho kepada saya. Semoga dengan tulisan itu bisa menggugah kesadaran orang-orang yang saya tuju. Biar saja penulis tulisan itu tidak ada atau tertera hamba Allah atau mungkin ada orang yang berani bikin namanya sebagai penulis. Biarkan saja. Karena sejak awal saya memang tidak ingin diketahui bahwa yang nulis itu adalah saya.
Ya Allah, Engkau maha mengetahui segala apa yang tampak maupun yang tak tampak. Aku berharap keridhoanMu bagi mereka-mereka yang sudah berperan menyebarkan apa-apa yang pernah aku tulis walopun terkadang ada diantara mereka yang menyatut nama. Jangan Engkau hukum kami atas kekhilafan kami ya Allah. Berikan ampunan kepada mereka, dan saya ya Allah.
Ya Allah, karuniakanlah kepada mereka apa-apa yang Engkau karuniakan kepada saya sehingga mereka bisa membuat lebih baik dari apa yang pernah saya lakukan. Ya Allah, hanya kepadamu hamba berharap.
12/04/2005
Ngapain Harus Ontime ?
Saat ini masih 5 Desember. Saya sedang mengikuti pelatihan manajemen Apotik di Sucofindo. Gak usah dibahas ya, kenapa kok bisa ikutan pelatihan semacam itu. Yang bakal saya bahas adalah masalah klasik budaya orang Indonesia Raya !
Entah kenapa dan sampai kapan saya tidak tau alasannya, kenapa kok setiap seminar, pelatihan dan sejenisnya bangku/tempat duduk yang penuh duluan adalah bagian belakang. Aneh, bangku depan adalah bangku ajaib yang selalu kosong. Atau mungkin ada jin yang sudah ada duduk disana ? Kalau sang pembawa acara mau memulai acara kemudian
mempersilahkan untuk memenuhi tempat duduk di depan, baru kita malu-malu dengan tersenyum simpul sambil dorong-dorong pindah ke depan. ah, klasik sekali !
Hal ini bukan berarti saya tidak pernah seperti itu. Saya pernah sengaja untuk duduk di belakang. Dulu waktu kuliah selalu memilih duduk di belakang, karena memang postur dan rambut saya yang gondrong menghalangi mahasiswa yang lain makanya saya pilih duduk di belakang. Dan alasan yang lebih tepat lagi, saya kuliah niatnya bukan untuk dapetin ilmu tapi lebih sering niatnya nyambung tidur yang baru 2 jam. Itu dulu ... ( ah, kayak orang-orang sudah tua saja saya )
Terus terang, ternyata budaya seperti saya di mahasiswa dulu masih banyak yang memakainya di dunia kerja. Saya akui, saya dulunya bukanlah mahasiswa yang patut ditiru. Walopun saya pernah menjadi mahasiswa berprestasi di kuliah dulu (maaf sedikit membuka rahasia).
Entah angin, hujan, petir ataupun mimpi apa semalam saat ini saya kok sepertinya lebih kelihatan (kelihatan belum tentu sebetulnya) lebih bijaksana (ehm). Saya berpikir gimana saya bisa maksimal mengikuti pelathihan ini kalau saya duduk di belakang. Mungkin orang lain bisa kali ya, soalnya mereka emang pinter-pinter. Tapi untuk saya sepertinya susah deh. Apalagi saya adalah orang yang awam dalam hal
ini.
Trus, ini nih yang bikin saya (mungkin juga yang lain) rada gak ngeh. Gak di DPR, instansi, dimana aja budaya ngaret tetap saja ! Sejak saya datang disini, duduk di bangku ini, sampai saya menulis sebanyak ini belum ada tanda-tanda acara mau di mulai. Sampai kepikiran, ini acara jadi gak sih ? satu setengah jam belum mulai juga ? ini mah bukan telat lagi tapi "molos" (molornya kayak mbolos). Saya mo protes, protes pada siapa ?
Apa saya harus ngikut kata iklan "Kalo yang lain pada ngaret ngapain harus ontime ?". Ah, malu saya sama Allah. Apa gunanya sholat ontime ?
Entah kenapa dan sampai kapan saya tidak tau alasannya, kenapa kok setiap seminar, pelatihan dan sejenisnya bangku/tempat duduk yang penuh duluan adalah bagian belakang. Aneh, bangku depan adalah bangku ajaib yang selalu kosong. Atau mungkin ada jin yang sudah ada duduk disana ? Kalau sang pembawa acara mau memulai acara kemudian
mempersilahkan untuk memenuhi tempat duduk di depan, baru kita malu-malu dengan tersenyum simpul sambil dorong-dorong pindah ke depan. ah, klasik sekali !
Hal ini bukan berarti saya tidak pernah seperti itu. Saya pernah sengaja untuk duduk di belakang. Dulu waktu kuliah selalu memilih duduk di belakang, karena memang postur dan rambut saya yang gondrong menghalangi mahasiswa yang lain makanya saya pilih duduk di belakang. Dan alasan yang lebih tepat lagi, saya kuliah niatnya bukan untuk dapetin ilmu tapi lebih sering niatnya nyambung tidur yang baru 2 jam. Itu dulu ... ( ah, kayak orang-orang sudah tua saja saya )
Terus terang, ternyata budaya seperti saya di mahasiswa dulu masih banyak yang memakainya di dunia kerja. Saya akui, saya dulunya bukanlah mahasiswa yang patut ditiru. Walopun saya pernah menjadi mahasiswa berprestasi di kuliah dulu (maaf sedikit membuka rahasia).
Entah angin, hujan, petir ataupun mimpi apa semalam saat ini saya kok sepertinya lebih kelihatan (kelihatan belum tentu sebetulnya) lebih bijaksana (ehm). Saya berpikir gimana saya bisa maksimal mengikuti pelathihan ini kalau saya duduk di belakang. Mungkin orang lain bisa kali ya, soalnya mereka emang pinter-pinter. Tapi untuk saya sepertinya susah deh. Apalagi saya adalah orang yang awam dalam hal
ini.
Trus, ini nih yang bikin saya (mungkin juga yang lain) rada gak ngeh. Gak di DPR, instansi, dimana aja budaya ngaret tetap saja ! Sejak saya datang disini, duduk di bangku ini, sampai saya menulis sebanyak ini belum ada tanda-tanda acara mau di mulai. Sampai kepikiran, ini acara jadi gak sih ? satu setengah jam belum mulai juga ? ini mah bukan telat lagi tapi "molos" (molornya kayak mbolos). Saya mo protes, protes pada siapa ?
Apa saya harus ngikut kata iklan "Kalo yang lain pada ngaret ngapain harus ontime ?". Ah, malu saya sama Allah. Apa gunanya sholat ontime ?
12/03/2005
Biang Keladi
"Lu tuh biang keladinya !". Temanku bilang disela ketawa riuh dan bahagianya malam itu.
"Lah, saya kan cuma menjalankan titah dari sang baginda saja". Pura-pura ngeles sayanya padahal saya memang ingin melihat 2 pasang anak manusia itu berakhir di pelaminan.
"Iya jalanin titah, tapi kok kebangetan. Masa yang gembar-gembor duluan kamu, eh yang jadi pertama malah saya dan dia". Semua yang hadir waktu itu mendadak jadi gerr.
"Hehe, maap kalo masalah waktu saya gak bisa protes. Alhamdulillah kalo kamu dan mbak ini duluan dari saya. Itu artinya lebih dari sekedar sukses berat ! hehe".
"Tapi yang jelas beban yang ada dipundak orang tua, kekhawatiran mbak dan mas kamu udah gak ada lagi" lanjut saya sedikit serius.
"Iya, beban yang lain pada pindah semua ke gua... dasar emang !" dia nyela dengan cueknya.
Coba kita lirik pada mbak yang satunya. Ah, beliau ternyata lebih parah lagi nyalipnya. Kalo saya disalip ditikungan sama teman, kalo mbak ini udah nyalip ditikungan tanjakan pula. Baru kemaren sore dia ngobrol sama saya, besok malemnya jadi sudah ditetapin tanggal 25 Des ini akadnya. Subhanallah, walhamdulillah. Puji syukur banget kalo keputusannya memang seperti itu.
"Lah, saya kan cuma menjalankan titah dari sang baginda saja". Pura-pura ngeles sayanya padahal saya memang ingin melihat 2 pasang anak manusia itu berakhir di pelaminan.
"Iya jalanin titah, tapi kok kebangetan. Masa yang gembar-gembor duluan kamu, eh yang jadi pertama malah saya dan dia". Semua yang hadir waktu itu mendadak jadi gerr.
"Hehe, maap kalo masalah waktu saya gak bisa protes. Alhamdulillah kalo kamu dan mbak ini duluan dari saya. Itu artinya lebih dari sekedar sukses berat ! hehe".
"Tapi yang jelas beban yang ada dipundak orang tua, kekhawatiran mbak dan mas kamu udah gak ada lagi" lanjut saya sedikit serius.
"Iya, beban yang lain pada pindah semua ke gua... dasar emang !" dia nyela dengan cueknya.
Coba kita lirik pada mbak yang satunya. Ah, beliau ternyata lebih parah lagi nyalipnya. Kalo saya disalip ditikungan sama teman, kalo mbak ini udah nyalip ditikungan tanjakan pula. Baru kemaren sore dia ngobrol sama saya, besok malemnya jadi sudah ditetapin tanggal 25 Des ini akadnya. Subhanallah, walhamdulillah. Puji syukur banget kalo keputusannya memang seperti itu.
12/02/2005
Saat Menunggu
Menunggu adalah kata yang paling tidak diinginkan oleh setiap orang, mungkin. Bagi saya ? menunggu adalah sesuatu hal yang harus saya isi keberadaannya dengan berbagai macam. Kalo terkadang saya menunggu bis atau angkot baik yang lewat ataupun lagi ngetem, saya mengisinya dengan membaca atau mungkin istilah lebih kerennya dengan berdzikir (cihui). Cuma kalo saya pake istilah keren itu kayaknya saya bercerita seperti layaknya orang alim banget ya ? Ah terserah lah, yang jelas saya mengisinya dengan kegiatan seperti itu.
Kalau saya menunggu antrian di bank atau di loket pembayaran, lagi-lagi saya membaca. Syukur-syukur kalo saya bawa buku kecil atau disekitar ada koran, tapi kalo tidak ada. Lagi-lagi saya melakukan istilah keren tadi. Kenapa saya mesti berdzikir disaat menunggu ? jawaban sederhananya karena saya susah sekali untuk mengingat Allah. Sering kali saya lupa dengan Allah SWT. Bangun tidur saja saya sering lupa baca do'a. Mau masuk WC/kamar mandi saya sering kali lupa baca do'a. Keluar WC/kamar mandi apalagi, minum air putih saya juga sering lupa baca bismillah. Selesai minum ? jangan ditanya.
Pake pakaian saya selalu lupa baca do'a, keluar rumah menuju tempat kerja juga lupa baca do'a. Jarang sekali saya ingat keberadaan Allah disaat saya melakukan apa-apa. Baru disaat saya melamun menunggu angkutan, saya ingat keberadaannya. Mungkin karena tidak ada lagi yang yang saya kerjakan kecuali menunggu.
Saya memang parah ya ? Ya Allah kenapa hamba ini susah kali untuk mengingatMu ? Rasanya tak cukup hanya setiap sholat datang ke rumahMu dan bersama jamaah lain bersujud dihadapanMu. Hamba ini takut ya Allah disaat Engkau mencabut nyawa ini tidak sedang mengingat Mu. Betapa meruginya hamba.
Setiap mata hati tangan kaki akan menjadi saksi
tiada dusta diri yang tak terhakimi.
Luka sepi air mata tak berarti lagi
akan terlambat segala sesal diwaktu nanti
Kalau saya menunggu antrian di bank atau di loket pembayaran, lagi-lagi saya membaca. Syukur-syukur kalo saya bawa buku kecil atau disekitar ada koran, tapi kalo tidak ada. Lagi-lagi saya melakukan istilah keren tadi. Kenapa saya mesti berdzikir disaat menunggu ? jawaban sederhananya karena saya susah sekali untuk mengingat Allah. Sering kali saya lupa dengan Allah SWT. Bangun tidur saja saya sering lupa baca do'a. Mau masuk WC/kamar mandi saya sering kali lupa baca do'a. Keluar WC/kamar mandi apalagi, minum air putih saya juga sering lupa baca bismillah. Selesai minum ? jangan ditanya.
Pake pakaian saya selalu lupa baca do'a, keluar rumah menuju tempat kerja juga lupa baca do'a. Jarang sekali saya ingat keberadaan Allah disaat saya melakukan apa-apa. Baru disaat saya melamun menunggu angkutan, saya ingat keberadaannya. Mungkin karena tidak ada lagi yang yang saya kerjakan kecuali menunggu.
Saya memang parah ya ? Ya Allah kenapa hamba ini susah kali untuk mengingatMu ? Rasanya tak cukup hanya setiap sholat datang ke rumahMu dan bersama jamaah lain bersujud dihadapanMu. Hamba ini takut ya Allah disaat Engkau mencabut nyawa ini tidak sedang mengingat Mu. Betapa meruginya hamba.
Setiap mata hati tangan kaki akan menjadi saksi
tiada dusta diri yang tak terhakimi.
Luka sepi air mata tak berarti lagi
akan terlambat segala sesal diwaktu nanti
Kalo Boleh
Hari ini kalo diperbolehkan aku ingin sekali kamu duduk disampingku, sekedar menemani untuk berbincang-bincang. Atau mungkin kalau saya boleh memakai istilah yang lagi "in" saat ini, saya ingin curhat. Ya, saya ingin curhat ! saya ingin bercerita, saya juga ingin seperti mereka yang selalu setia menjadikan saya sebagai pendengar yang baik. Walau terkadang saya meragukan apa benar saya bisa menjadi pendengar yang baik ? Malah saya dimintai pendapat gimana baiknya. Jelas, saya berusaha untuk memberikan pendapat se-obyektif mungkin sesuai dengan apa yang pernah saya alami, pikirkan bahkan dari referensi yang pernah saya baca dan tepatnya sesuai dengan kemampuan saya untuk mencerna.
Harapan saya cuma satu, agar masalah yang mereka bisa sedikit mencair setelah berbincang dengan saya, atau setidaknya mereka bisa meletakkan untuk sementara beban yang berat dipundaknya. Walaupun nanti akan menumpuk lagi di pundaknya. Ya lebih tepatnya ada saat melepas kepenatan pikiran dengan berbincang-bincang. Saya ingin melihat mereka tersenyum lega setelah berbicara panjang lebar ke dalam telinga saya. Dan tentunya itu semua harus saya simpan rapi di dalam hati, dikeluarkan hanya sesuai porsi orang-orang terntentu yang berkaitan erat dengan pembicaraan. Bahkan untuk hal yang sangat sensitif atau aib saya mengunci mati dalam sebuah peti.
Saya ingin seperti mereka... ingin sekali. Makanya saya ingin (kalo boleh) kamu saat ini berada disampingku, untuk hanya sekedar mendengarkan kenapa saya tidak bisa tidur cepat tadi malam. Atau mungkin mendengarkan saya bercerita tentang rumah yang sewa kemaren sore. Ah, kamu tau ? semua itu rasanya plong banget ... setelah saya bercerita tumpah ruah. Walopun capeknya setengah mati saya bekerja seharian, tapi disaat ada kamu tempat saya berbagi saya akan merasa semua capek itu hilang seketika, walopun kamu hanya diam membisu mendengarkan saya dan sesekali melemparkan senyum. Itu saja. Ya itu saja, diam dan senyum tulus itu bagi saya lebih dari mutiara.
Untuk saat ini saya harus menunggu "kalo boleh" itu sekian lama lagi. Ya Allah saya serahkan urusan semua ini padamu. Ijinkanlah kami untuk berkumpul dalam kebaikan, untuk menuju kebaikan Mu ya Allah. Permudahlah jalan ini ya Allah, karena Engkaulah sesungguhnya pemberi kemudahan. Tidak ada sesuatupun yang mudah tanpa kemudahan dari Engkau. Hanya padaMu hamba berserah diri.
Harapan saya cuma satu, agar masalah yang mereka bisa sedikit mencair setelah berbincang dengan saya, atau setidaknya mereka bisa meletakkan untuk sementara beban yang berat dipundaknya. Walaupun nanti akan menumpuk lagi di pundaknya. Ya lebih tepatnya ada saat melepas kepenatan pikiran dengan berbincang-bincang. Saya ingin melihat mereka tersenyum lega setelah berbicara panjang lebar ke dalam telinga saya. Dan tentunya itu semua harus saya simpan rapi di dalam hati, dikeluarkan hanya sesuai porsi orang-orang terntentu yang berkaitan erat dengan pembicaraan. Bahkan untuk hal yang sangat sensitif atau aib saya mengunci mati dalam sebuah peti.
Saya ingin seperti mereka... ingin sekali. Makanya saya ingin (kalo boleh) kamu saat ini berada disampingku, untuk hanya sekedar mendengarkan kenapa saya tidak bisa tidur cepat tadi malam. Atau mungkin mendengarkan saya bercerita tentang rumah yang sewa kemaren sore. Ah, kamu tau ? semua itu rasanya plong banget ... setelah saya bercerita tumpah ruah. Walopun capeknya setengah mati saya bekerja seharian, tapi disaat ada kamu tempat saya berbagi saya akan merasa semua capek itu hilang seketika, walopun kamu hanya diam membisu mendengarkan saya dan sesekali melemparkan senyum. Itu saja. Ya itu saja, diam dan senyum tulus itu bagi saya lebih dari mutiara.
Untuk saat ini saya harus menunggu "kalo boleh" itu sekian lama lagi. Ya Allah saya serahkan urusan semua ini padamu. Ijinkanlah kami untuk berkumpul dalam kebaikan, untuk menuju kebaikan Mu ya Allah. Permudahlah jalan ini ya Allah, karena Engkaulah sesungguhnya pemberi kemudahan. Tidak ada sesuatupun yang mudah tanpa kemudahan dari Engkau. Hanya padaMu hamba berserah diri.
12/01/2005
Belajar Nyetir
Sudah beberapa hari ini saya belajar mengendarai mobil, alhamdulillah mimpi saya waktu masih SMP, SMA, bahkan di bangku kuliah sekarang sudah terwujud. Dulu melihat orang-orang nyetir mobil saya jadi pengen, tapi gimana mungkin emangnya saya mo nyetir mobilnya siapa ? naik mobil numpang aja jarang paling juga angkot, apalagi nyetir... mimpi aja kali ?!
Ya begitulah dulu pikiran saya waktu SMP, SMA bahkan semasa kuliah. Bahkan jujur, saya sekarang masih merasa bermimpi saja kalo lagi berada di belakang roda setir. Suatu hal yang saya pikir gak mungkin, tapi sekarang Allah memungkinkan bagi saya. Bahkan barusan saja saya sudah bawa sendiri (tanpa teman lagi) dari kota ini ke kota sebelah.
Kalo di itung-itung dari pertama saya megang setir sampe sekarang bisa dibilang itungan hari. Kata suhu setir saya, katanya saya termasuk cepat juga belajar nyetirnya. Mungkin karena saya ngebet banget untuk bisa kali ya ?
Hari pertama, kedua dan ketiga belajar, saya belajar di jalan jalur searah yang jarang banget dilewati oleh kendaraan bermotor. Disana saya belajar ganti persneling, belok ke jalan jalur sebelahnya. Berhenti parkir kemudian mundur ngikutin pinggir trotoar.
Hari ke empat, saya belajar di daerah tanjakan. Berhenti di tanjakan kemudian jalan lagi. Awal-awalnya sih susah untuk tidak mundur. Tapi memang harus ada kebiasaan untuk bisa menstabilkan antara gas dan kopling biar mobil bisa melaju tanpa mundur ditanjakan.
Hari kelima saya udah berani di jalan raya, di keramaian dan tepatnya di jalur macet kota ini. Ternyata emang bener yang dibilang orang-orang, kalo di jalan macet bikin kaki pegel. Kudu sering-sering nginjak kopling, rem ama gas.
Hari ke enam, saya diajak untuk tur jarak jauh sekitar 30 km. Dari kota ini ke tempat penyebrangan. Yang jaraknya lumayan jauh dan jalannya berliku, banyak angkot, bis dan truk yang sering jadi raja kalo di jalanan.
Hari ketujuh, saya berkendara di jalan pedesaan yang sempit. Jalannya menanjak, berbelok dan banyak lobang. Hebat ! yang hebat banget jalannya, seperti off road aja, ya walopun gak off road banget. Tapi bikin bodi mobil kecipratan lumpur dimana-mana. Tapi memang pengalaman yang ke pedesaan yang berbukit itu membuat saya jadi ingat kampung halaman. Tanjakan, belokan bahkan lumpurnya sama persis dengan tempat kelahiran saya.
Hari ke delapan, saya beranikan diri untuk ujian dapetin SIM. Ternyata ujian SIM itu susah ya. Walopun teori saya hasilnya sangat memuaskan, ternyata saya tidak lulus dalam praktek. Saya rencanaya ambil SIM C ama SIM A yang prosedurnya gak rumit-rumit amat. Yang rumitnya pada waktu ujian praktek, baik SIM C dan SIM A saya gak lulus. SIM C saya gak berhasil menyelesaikan track tanpa turun kaki. Sedangkan ujian SIM A saya nabrak pembatas yang sudah ditentukan diwaktu mundur melewati pembatas yang sempit. Ah, susah juga ternyata.
Sebenarnya saya pengen ngelanjutin ujian prakteknya minggu depan, tapi kata yang kasih duit ( direktur bo ! ) udah ambil yang cepet aja. Akhirnya saya ditawarkan oleh pak polisi yang baik hati untuk nembak SIM aja. Walhasil saya harus nambah 300 ribu lagi untuk mendapatkan kedua SIM itu. Terus terang saya gak enak banget dapetin SIM dengan cara begini. Gak ada kebanggaan, bagi saya bukan masalah duit atau masalah cepat atau lambatnya dapetin SIM nya. Tapi masalahnya adalah kemampuan saya untuk berkendara.
Akhirnya saya harus mempercepat proses pengambilan SIM tersebut setelah direktur saya bolak-balik nanyain udah selesai apa belum. Dan dalam waktu singkat setelah di jepret dua buah Surat Izin Mengemudi berada di tangan saya. Ya Alhamdulillah, walopun saya nembak tapi saya puas udah nyoba ujian SIM itu kayak apa. Suatu saat nanti saya harus mencoba ujian lagi walopun dengan cara sendiri saja, seperti layaknya yang bapak-bapak polisi tadi kasih sama saya. Malu saya sama Allah dapatin SIM kayak begini.
Ya begitulah dulu pikiran saya waktu SMP, SMA bahkan semasa kuliah. Bahkan jujur, saya sekarang masih merasa bermimpi saja kalo lagi berada di belakang roda setir. Suatu hal yang saya pikir gak mungkin, tapi sekarang Allah memungkinkan bagi saya. Bahkan barusan saja saya sudah bawa sendiri (tanpa teman lagi) dari kota ini ke kota sebelah.
Kalo di itung-itung dari pertama saya megang setir sampe sekarang bisa dibilang itungan hari. Kata suhu setir saya, katanya saya termasuk cepat juga belajar nyetirnya. Mungkin karena saya ngebet banget untuk bisa kali ya ?
Hari pertama, kedua dan ketiga belajar, saya belajar di jalan jalur searah yang jarang banget dilewati oleh kendaraan bermotor. Disana saya belajar ganti persneling, belok ke jalan jalur sebelahnya. Berhenti parkir kemudian mundur ngikutin pinggir trotoar.
Hari ke empat, saya belajar di daerah tanjakan. Berhenti di tanjakan kemudian jalan lagi. Awal-awalnya sih susah untuk tidak mundur. Tapi memang harus ada kebiasaan untuk bisa menstabilkan antara gas dan kopling biar mobil bisa melaju tanpa mundur ditanjakan.
Hari kelima saya udah berani di jalan raya, di keramaian dan tepatnya di jalur macet kota ini. Ternyata emang bener yang dibilang orang-orang, kalo di jalan macet bikin kaki pegel. Kudu sering-sering nginjak kopling, rem ama gas.
Hari ke enam, saya diajak untuk tur jarak jauh sekitar 30 km. Dari kota ini ke tempat penyebrangan. Yang jaraknya lumayan jauh dan jalannya berliku, banyak angkot, bis dan truk yang sering jadi raja kalo di jalanan.
Hari ketujuh, saya berkendara di jalan pedesaan yang sempit. Jalannya menanjak, berbelok dan banyak lobang. Hebat ! yang hebat banget jalannya, seperti off road aja, ya walopun gak off road banget. Tapi bikin bodi mobil kecipratan lumpur dimana-mana. Tapi memang pengalaman yang ke pedesaan yang berbukit itu membuat saya jadi ingat kampung halaman. Tanjakan, belokan bahkan lumpurnya sama persis dengan tempat kelahiran saya.
Hari ke delapan, saya beranikan diri untuk ujian dapetin SIM. Ternyata ujian SIM itu susah ya. Walopun teori saya hasilnya sangat memuaskan, ternyata saya tidak lulus dalam praktek. Saya rencanaya ambil SIM C ama SIM A yang prosedurnya gak rumit-rumit amat. Yang rumitnya pada waktu ujian praktek, baik SIM C dan SIM A saya gak lulus. SIM C saya gak berhasil menyelesaikan track tanpa turun kaki. Sedangkan ujian SIM A saya nabrak pembatas yang sudah ditentukan diwaktu mundur melewati pembatas yang sempit. Ah, susah juga ternyata.
Sebenarnya saya pengen ngelanjutin ujian prakteknya minggu depan, tapi kata yang kasih duit ( direktur bo ! ) udah ambil yang cepet aja. Akhirnya saya ditawarkan oleh pak polisi yang baik hati untuk nembak SIM aja. Walhasil saya harus nambah 300 ribu lagi untuk mendapatkan kedua SIM itu. Terus terang saya gak enak banget dapetin SIM dengan cara begini. Gak ada kebanggaan, bagi saya bukan masalah duit atau masalah cepat atau lambatnya dapetin SIM nya. Tapi masalahnya adalah kemampuan saya untuk berkendara.
Akhirnya saya harus mempercepat proses pengambilan SIM tersebut setelah direktur saya bolak-balik nanyain udah selesai apa belum. Dan dalam waktu singkat setelah di jepret dua buah Surat Izin Mengemudi berada di tangan saya. Ya Alhamdulillah, walopun saya nembak tapi saya puas udah nyoba ujian SIM itu kayak apa. Suatu saat nanti saya harus mencoba ujian lagi walopun dengan cara sendiri saja, seperti layaknya yang bapak-bapak polisi tadi kasih sama saya. Malu saya sama Allah dapatin SIM kayak begini.
Subscribe to:
Posts (Atom)