Masih saja berani menganggap diri ini lebih baik ? Astagafirullah ... ternyata aku masih saja terjebak dengan hal yang sama. Belum juga berubah !? Berdiri saja masih lumpuh, berkata saja masih kelu, bernafas jugapun masih minta bantu.
Ini penyakit yang selalu menyerang kalo "ngerasa" iman udah rada sedikit membaik. Baru aja keluar dari "akut", jangan dikira makin membaik ... siap-siap serangan berikutnya lebih halus, tajam dan dahsyat dari sebelumnya. Harus mempersiapkan dosis yang lebih tinggi untuk penangkalnya. Ya, walopun gak pernah nyentuh kuliah di kumpulan orang-orang rapi di Fak Kedokteran sana. Setidaknta sedikit sih ngerti juga kalo masalah dosis, apalagi overdosis kan udah jadi pasaran bebas santapan cerita orang-orang.
Terlepas dari salah atau benar apa yang berikut ini aku lontarkan, sebelumnya maaf aja kalo kata-kata berikut menjadi keluar jalur atau gak sesuai dengan apa yang didapat (terutama anak FK). Aku cuma mo menganalogikan dengan apa yang bisa aku cerna. Kali ini ya, aku mencerna dengan analaogi antibiotik.
Setauku orang sakit ama dokter selalu dikasih antibiotik atau obat (whatevah lah) yang bisa nyembuhin dengan dosis yang tepat sesuai kebutuhan untuk menangguhkan kerja penyakit (bukan memusnahkan) atau paling yahud itu mengusir virus/bakteri yang dianggap sebagai biang keroknya dari body si penderita.
Gak jauh beda dengan iman atau hati yang lagi sakit. Sama halnya dengan tubuh yang sakit, butuh obat yang berdosis sesuai dengan resep dokter. Biasanya kita mendapatkan catatan level dosis obat yang layak untuk di konsumsi di secarik kertas setelah tubuh kita diperiksa oleh sang dokter. Tapi apakah kita punya dokter yang bisa memeriksa hati jika sedang sakit ? jawabannya ... punya ! ya itu ... diri kita sendiri.
Lho, kok bisa ? bukankah kita sebagai pasien ? Itulah uniknya, untuk masalah hati. Kita sendiri menjadi dokternya. Walopun orang lain tau hati kita sedang sakit ( bukan sakit hati karena dendam lho ) hati yang sakit disini maksudnya iman lagi low batt. Sebenarnya yang dilihat oleh orang itu adalah efek yang terjadi disaat hati kita/iman lagi low batt. Orang lain bisa apa ? kalo kita sendiri gak mau periksa, intropeksi diri ?
Sakit fisik, kalo kita gak mo periksa bisa di iket, dibawa kedokter ... disuntik ato paling banternya dioperasi. Beres dah. Tapi kalo hati yang sakit ? mo ngikat gimana ? mo dibawa ke dokter mana ? mo disuntik iman secara paksa pake apa ? Jangan-jangan bisa berakibat semakin parah. So, ini salah satu alasan kenapa diri sendirilah yang menjadi dokter untuk masalah hati.
Individu atau pihak lain cuma bisa menyentuh simpul-simpul syaraf yang membangkitkan keilmuan kedokteran hati pribadi, gak lebih. Karena apa yang di dalam hati siapa yang bisa mengerti ? walopun ada jalan curhat, tapi apa curhat itu bisa menjadi parameter sebuah kejujuran hati ? aku rasa tidak. Orang paling terbuka sekalipun masih punya satu rahasia yang tak seorangpun yang tau kecuali Robb pemberi fasilitas rahasia tersebut dalam hatinya.
Jadi, untuk masalah hati ... biarkan aku menjadi dokter bagi diriku sendiri dan Robbku menjadi penawar segala penyakit yang hinggap dan pergi tanpa permisi. Siapapun yang ingin menyentuh, cukuplah menjadi pembangkit simpul-simpul syaraf yang bisa mengingatkan aku pada penawar hati yang Maha suci. Jangan berharap lebih, karena aku takut nantinya hatiku semakin sakit dan perih sampai mati tak bisa terobati.
# goresan sesosok insan penghujung malam
2/11/2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
terimakasihh gan atas penerangan hati nya ,,, asalamualaikum
Post a Comment