3/19/2004

Sendal

Gelandangan ! emang ... tapi setidaknya aku masih bisa berpakaian, make sendal butut satu-satunya yang gak tau udah berapa kali putus trus di lem lagi, udah sekitar 5 buah lem alteco yang habis gara-gara ngelemin sendalku yang suka putus ini. Udah 6 bulan ini sendal aku beli di Surabaya, waktu itu pas lagi ke tempatnya pak Willy.

"Ini berapa pak ?" aku mengajukan sepasang sendal berwarna ungu, gak tau kenapa kok bisa aku memilih sendal berwarna ungu. Entah karena modelnya yang japitan, yang jelas bukan japitan biasa. Sendal japit lapangan/gunung yang depannya cuma melingkari jempol dan gak pake sambungan ke bagian tali yang di punggung kaki.
"dua puluh lima ribu mas" bapak yang masih sehat dan bugar itu sesekali mengibas debu di barang dagangannya.
"bisa kurang gak pak ? pas nta deh" aku merogoh kantongku dan merasakan ada beberapa lembaran yang kurasakan... aku yakin itu ribuan semua.
"Adek nawarnya berapa" bapak itu membetulkan letak kopiahnya.
"lima belas ya pak ?" seperti biasa yang dilakukan oleh ibuku kalo nawar barang dagangan, logika ibuku modalnya itu separo dari yang ditawarkan. Jadi aku bagi dua trus tambah untungnya dua ribu lima ratus.
"Wah gak bisa dek, dua puluh gimana ?" bapak itu duduk dan memperhatikanku dengan seksama.
"lima belas aja ya pak ?" sejenak aku melihat sekeliling, ini trik berikut yang kudapat dari ibu.
"mmm... tujuh belas setengah deh" bapak itu mengambil sepasang japitan dengan model dan warna yang sama. Aku sejenak berpikir. untung dua ribu lima ratus rupiah bisa buat apa di kota besar ini ?, ongkos becak aja udah 3-4 ribu. Ah gak papa lah semoga untung lima ribu itu bisa dibeliin makan siang buatnya atau beliin jajan anaknya yang dari tadi duduk disamping merengek-rengek minta di beliin es krim. Udah jam 11 barang dagangannya masih banyak dan kaki lima nya tampak sepi.

Aku berikan lembaran ribuan delapan lembar ditambah satu nya sepuluh ribu. "ini pak, kembaliannya kasihkan sama anak bapak aja buat beli es krim" aku menerima bungkusan kresek yang diberikannya. Sebuah senyum terpampang jelas, ah... senyum itu membuatku semakin tak berkutik. Maaf pak, sayang sekali aku belum punya banyak uang. di kantong ku cuma bersisa buat ongkos balik aja.
"Semoga barang dagangannya laku ya pak, Assalamualaikum" aku menjabat tangan bapak itu.
"Makasih dek ati-ati ya, wualaikumussalam" dia tersenyum begitu lepas dan aku berlalu pergi...