Pengajian senin sore kemaren mengajak jari saya untuk menelusuri seperti apa kafe yang ada di Mesir. Sore itu sang ustadz bilang...
"Kafe di Mesir mempunyai fungsi yang sangat berbeda dengan kafe-kafe yang ada di Indonesia".
"Kafe di Indonesia identik dengan minuman keras, tempat dugem, perdangan narkoba dan sembarang kalir yang tidak jauh dari itu. Lain halnya kafe-kafe yang ada di Mesir. Disana mereka menjadikan kafe sebagai tempat munculnya pergerakan, revolusi rakyat pun digodok dari kedai-kedai ini. Belasan karya sastra utama juga lahir dari sana".
"Para ulama dan darwisy sufi juga punya pangkalan kafe (maqha) tersendiri. Minum kopi biar bisa zikir tahan lama".
Ah masa sih ? saya sendiri juga sedikit meragukan hal tersebut dan membuat saya penasaran. Akhirnya saya menelusuri internet untuk mencari bagaimana sebenarnya keberadaan dan fungsi kafe di Mesir. Berikut ada beberapa tulisan yang saya dapatkan dari catatan koresponden Gatra di Kairo, Mohamad Guntur Romli, tentang serba-serbi kafe Mesir.
ANGKA 1919 adalah angka keramat bagi rakyat Mesir. Bilangan ini mewakili peristiwa paling heroik dalam sejarah negeri itu: revolusi tahun 1919. Ketika itu, gelombang revolusi rakyat Mesir menggulung kolonialisme Inggris. Tahun yang sama, warga Mesir mengangkat tokoh pujaan mereka, Saad Zaghlul, sebagai perdana menteri pertama.
Tapi, tak banyak yang tahu tempat asal cita-cita revolusi 1919 itu mulai dibangun. Revolusi rakyat tersebut ternyata lahir dari bangunan sederhana di bundaran Atabah, muara Jalan Muski, Kairo. Di tempat itu sebagian warga melepas lelah, ngobrol, dan minum kopi. Kedai kopi? Ya! Revolusi itu dimulai dari kedai kopi bernama Maqhâ (Kafe) Mitatia.
Spirit revolusi itu tertanam jauh sebelum 1919. Pada penghujung abad ke-19, di Kafe Mitatia, sosok lelaki asing separuh baya hadir menarik perhatian banyak orang. Pria itu lahir di Afghanistan, belajar di Persia (Iran), dan punya hobi melanglang buana. Ia telah menjelajah India, Turki, Suriah, dan terakhir di Mesir.
Kumis dan janggut berjuntai menutupi bagian bawah wajah pria itu. Gaya bicaranya meledak-ledak. Terkadang keluar kata-kata keras dan tajam dari bibir yang tidak pernah lepas menyedot pipa shisha --rokok Arab bertabung dan berpipa panjang-- itu. Asap shisha meliuk-liuk dipermainkan angin menerpa wajah orang-orang sekitarnya.
Kata-kata keras sosok asing itu belakangan mampu membakar semangat rakyat Mesir untuk melawan penjajahan Inggris. Orang-orang yang biasa memanggilnya, Syekh Jamaluddin. Lengkapnya --karena ia berasal dari Afghan-- Syekh Jamaluddin al-Afghani. Di kafe Mitatia, 20-an orang selalu setia menyimak kata-katanya.
Di antara hadirin itu hampir selalu tampak seorang pria lulusan Al-Azhar bertubuh pendek, berkumis, dan berjenggot. Namanya Muhammad 'Abduh. Kelak, Abduh dikenal sebagai murid setia Syekh Jamaluddin dan salah seorang pelopor pembaruan keagamaan serta mufti Mesir ternama.
Halaqah Kafe Jamaluddin al-Afghani
SELAIN Abduh, ada dua sosok lelaki lain yang rajin hadir. Pertama, Abdullah al-Nadim yang nantinya dijuluki Khathîb al-Tsawrah (Orator Revolusi 1919). Yang kedua, yunior Abduh di Al-Azhar, bernama Saad Zaghlul. Kelak Zaghlul-lah yang menjadi tokoh utama revolusi 1919 dan perdana menteri pertama Mesir.
Al-Nadim dan Zaghlul sama-sama dikenal sebagai "singa panggung". Pengaruh sang guru, Syekh Jamaluddin, tertanam kuat dalam jiwa mereka. Selain nama-nama besar tersebut, masih ada tokoh revolusi 1919 lain yang juga setia mengikuti "halaqah kafe" Syekh Jamaluddin. Yaitu, Mahmud Sami al-Barudi.
Cerita itu bukanlah kabar burung, atau sekadar kisah dari mulut ke mulut. Tapi tercantum dalam buku Ayyam laha Tarikh (Hari-hari yang Memiliki Sejarah), karya terpenting sastrawan Mesir, Ahmad Bahauddin. Revolusi 1919 yang dahsyat ternyata berasal dari pojok kafe sederhana. Kafe ternyata memiliki kekuatan mengubah jalan sejarah.
Pengaruh kafe di Mesir tak hanya dikenal dalam bidang politik. Sastrawan Mesir peraih Nobel 1988, Naguib Mahfouz, juga lebih banyak menghabiskan waktunya dari kafe ke kafe. Tidak ada kafe ternama yang belum disinggahi Naguib.
Penyanyi legendaris Umm Kultsum juga terbiasa nongkrong di kafe. Setiap lepas show, Ummi Kultsum berdialog dengan fansnya di kafe untuk menanyakan kesan dan kritik mereka. Saat ini Ummi Kultsum diabadikan menjadi nama sebuah kafe yang sering ia kunjungi.
Jika ke Mesir, perjalanan Anda memang tidak lengkap bila belum menyinggahi kafe-kafenya. Di situ Anda bisa duduk rileks sambil minum teh. Kalau suka, teh bisa dicampur daun na'na' (mint) agar napas lebih segar dan harum. Sambil menyeruput teh atau kopi Arab beraroma khas, bisa diselingi menyedot shisha.
Revolusi dan Miniatur Negara
AROMA shisha, rokok Arab itu, juga bisa dipilih. Ada aroma stroberi, mangga, apel, melon, dan buah-buahan lain. Di samping teh dan kopi, Anda juga bisa mencoba minum sahlab --susu kental panas ditaburi kacang, pisang, dan sedikit cokelat. Sambil ngobrol Anda bisa bermain domino dan mahyong yang disediakan secara gratis oleh pemilik kafe.
Kafe tak bisa dilepaskan dari kehidupan rakyat Mesir. Di setiap sudut jalan, kafe-kafe mudah dijumpai. Mulai kelas rakyat jelata hingga eksekutif. Orang Mesir tahan berlama-lama duduk di kafe hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul, minum teh, dan main domino. Tak jarang tradisi ini menuai kritik karena dipandang membuang-buang waktu.
Tapi, jika kita mengunjungi kafe-kafe yang punya sejarah panjang ada yang terasa mengesankan. Kafe adalah saksi sejarah, forum diskusi, dialog, dan debat tokoh-tokoh Mesir sejak dulu. Bagi rakyat Mesir, kafe adalah "miniatur negara" karena segala persoalan negara, dari politik, ekonomi, sosial, sastra, dan budaya, dibahas di kafe.
Para pengunjung duduk mengepung meja, mereka bergantian bicara, tanpa moderator ataupun notulen. Kesimpulan pembicaraan tak pernah satu, terserah pada kepala masing-masing. Fenomena ini tidak hanya ada di Kairo, juga di kota negeri Arab lain seperti Beirut di Lebanon, Baghdad di Irak, Rabat di Maroko, dan Damaskus di Suriah.
Tradisi kafe semacam ini bukanlah tradisi khas Arab. Di kota besar benua lain, kafe dengan fungsi sosial-politik juga mudah dijumpai. Di Paris terdapat kafe-kafe bersejarah tempat diskusi Picasso, Victor Hugo, Pascal, Descartes, Camus, hingga Foucault. Ada kafe Deux Magots dan de Flore tempat Sartre, Hemingway, dan Simone de Beauvoir berdialog melahirkan filsafat eksistensialisme. Konon, kafe juga menjadi tempat titik tolak revolusi pemuda di Prancis tahun 1968.
Di Mesir, sosok kafe seperti ini baru dikenal pada zaman pemerintahan Turki pada 1517. Sebelumnya, memang ada beberapa tempat yang sering dijadikan tempat kumpul masyarakat Mesir, seperti pasar dan masjid. Tetapi untuk kegiatan seni, sastra, dan budaya, pasar terlalu gaduh dan masjid terlalu sakral.
Kafe Anti-Perempuan
SEBELUM kafe dikenal, kegiatan sastra Kairo dipusatkan di perahu-perahu yang mengapung di Sungai Nil. Kebiasaan rakyat Mesir ini berlangsung sejak era pemerintahan Mamalik. Hingga pemerintahan Muhammad Ali Pasha, perahu-perahu Nil masih sering digunakan untuk tempat pesta rakyat.
Namun, dengan masuknya penjajah Prancis di Mesir pada Juni 1797, fenomena kafe mulai tumbuh pesat di Kairo. Pesta di perahu mulai elitis dan membutuhkan biaya tinggi, selain terasa terlalu sempit. Selain itu, kebiasaan serdadu-serdadu Prancis nongkrong di pinggir jalan ikut menyebabkan lahirnya kafe-kafe baru.
Menurut catatan Ali Pasha Mubarak, pada tahun 1880, setidaknya ada 1.067 kafe di Kairo. Jumlah kafe terbanyak ada di kawasan Azbakia, sebanyak 252 buah. Sebagian besar, 228 kafe, juga menyediakan minuman keras. Di kawasan Bulak terdapat 160 kafe, di kawasan Jamalia ada 142 kafe, dan di kawasan Abidin tercatat 102 kafe.
Aktivitas di kafe juga beragam. Mulai mendengarkan musik, syair, dongeng rakyat, hingga merayakan ritual keagamaan seperti Maulid Nabi. Alkisah, Syekh Al-Bakri, seorang syekh tarekat di kawasan Azbakia, selalu mengadakan perayaan maulid Nabi di salah satu kafe. Konon, penguasa Mesir saat itu, Napoleon Bonaparte juga rajin hadir.
Sejak itu, beragam kafe tumbuh di Kairo. Mulai kafe umum hingga kafe khusus yang memiliki pelanggan dari strata tertentu. Seperti kalangan buruh, pedagang dan tentu saja, kafe khusus serdadu Prancis. Pada awal pertumbuhannya, kalangan bangsawan masih sungkan duduk di kafe. Alasannya, nongkrong di kafe akan mengurangi kewibawaan.
Kalangan perempuan Mesir juga dilarang duduk dan ngobrol di kafe. Larangan tersebut masih berlaku sampai muncul gerakan feminisme di Mesir. Seorang jurnalis Mesir terkenal, Dr. Mahmud Azmi, pernah dikecam masyarakat karena duduk di Kafe Bar Liwa bersama istrinya, seorang perempuan berkulit putih asal Rusia.
Kafe Khusus Ulama Al-Azhar
YANG menarik, para pengajar dan ulama Al-Azhar juga punya kafe khusus. Namanya, Kafe Afandia. Kisah kafe ini terungkap dari korespondensi Abdullah Fikri Pasha yang berada di Turki dengan Syekh Utsman Haddukh, seorang pengajar Ilmu Nahwu di Al-Azhar.
Surat bertanggal 5 Jumadal Ula 1288 H (1870 M) itu menceritakan kerinduan Fikri Pasha minum kopi dan ngobrol di Kafe Afandia, dekat Masjid Al-Azhar. Sepulang dari Turki, Abdullah Fikri Pasha sempat menjabat Menteri Pendidikan Mesir. Meski Kafe Afandia tak bisa ditemukan lagi, namun kafe Afandia dikenal sebagai pelopor kafe sastra.
Sudut kota Kairo yang hingga kini sering dipenuhi lautan manusia adalah kawasan Masjid Husein. Orang sering menyebutnya kawasan Al-Azhar karena Masjid Al-Azhar ada di seberangan jalan Masjid Husein. Sebutan lain kawasan itu adalah Khan Khalili, berasal dari nama pasar tradisional di samping Masjid Husein.
Segitiga emas Masjid Husein, Masjid Al-Azhar dan Khan Khalili membuat tempat itu selalu ramai hingga sekarang. Kawasan kuno itu dibangun tahun 972 M oleh Jawhar Saqali, seorang jenderal Daulah Fathimiyah. Tepat di samping istana kerajaan, pusat pemerintahan, dibangun Masjid Al-Azhar sebagai pusat keilmuan.
Adapun pasar tradisional Khan Khalili dibangun pada 1382 oleh seorang amir bernama Djaharks el-Khalili. Pasar ini bergaya Turki. Para pelancong yang datang ke Mesir bisa membeli suvenir mulai dari kertas papirus, hingga patung kuno di sini. Ada juga minyak kadal Mesir dan batu jahamam yang konon ampuh menambah kekuatan seks.
Kehidupan seni dan sastra juga berkembang di kawasan ini. Pelajar, ulama, dan syekh al-Azhar memiliki kafe tersendiri untuk berdiskusi. Para darwisy sufi juga memiliki kafe khusus yang bernama Kafe Wali Ni'am yang berdiri hingga sekarang. Tokoh tarekat Syekh Sholih al-Ja'fari juga sering nongkrong di kafe ini sepulang dari Masjid Husein.
Pojok Ilham Naguib Mahfouz
MENURUT Fathi Wali Niam, 50 tahun, pemilik Kafe Wali Ni'am sekarang, keberadaan kafe ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi darwisy-darwisy sufi. Para darwisy itu hobi minum kopi untuk menghilangkan kantuk agar bisa kuat begadang dan wirid. Tapi, Kafe Wali Ni'am bukanlah kafe tertua di Pasar Khan Khalili.
Kafe yang paling uzur di kawasan Khan Khalili adalah Kafe El-Fishawi. Menurut sastrawan Mesir Hafidz Ibrahim dalam buku al-Shalîb wa al-Hilâl (Salib dan Bulan Sabit), menjelang revolusi 1919 kafe ini sering digunakan tempat rahasia untuk mempertemukan delegasi Koptik Kristen dan ulama Al-Azhar. Di sini mereka menyusun strategi revolusi.
Pada era 1920-an dan 1930-an Kafe El-Fishawi juga dijadikan pusat informasi rahasia perlawanan rakyat Mesir terhadap penjajahan Inggris. Ketika Perang Dunia I dimulai pada September 1939, kafe ini menjadi "pelarian" orang-orang yang hobi begadang. Sebab, pada saat itu tidak ada satu pun kafe yang berani buka kecuali Kafe El-Fishawi.
Di tengah berkecamuknya perang, orang merasakan ketenangan duduk di kafe yang terletak di pelataran Masjid Husein itu. Mengenai usia kafe ini, terjadi silang pendapat antara pemilik kafe El-Fishawi dan para arkeolog. Menurut ahli sejarah Kairo Lama (al-Qâhirah al-Qadîmah), kafe ini berumur 200 tahun lebih.
Tetapi, menurut Akram Mustafa el-Fishawai, 46 tahun, generasi ketujuh pemilik kafe El-Fishawi, kafe ini telah berumur 245 tahun. Sebagian orientalis punya teori lain. Menurut mereka cikal bakal Kafe el-Fishawai berasal dari Kafe Al-Pasvor yang dibangun pada saat Prancis menguasai Mesir.
Konon, Napoleon pernah mengunjungi kafe ini karena tertarik dengan lokasinya. Menurut catatan sejarah Kairo Lama, kafe ini memulai aktivitasnya sejak 1772, pada era Sultan Muhammad Abu Dahab yang dikenal dengan sebutan Al-Pasvor. Pendiri kafe yang berasal dari keluarga El-Fishawi memberi nama kafenya dengan nama sultan.
Kafe Tutup, Kuda Pun Mati
AWALNYA, luas Kafe El-Fishawi tidak lebih dari 60 meter persegi, dan terletak di pelataran Masjid Husein. Namun lama-lama kafe ini tidak tampak lagi dari pelataran masjid. Beberapa rumah makan dan kafe-kafe baru menutupi Kafe El-Fishawi. Luasnya pun juga tidak lagi seperti sebelumnya.
Pada 1968, Pemerintah Mesir memutuskan memangkas sepertiga luas kafe ini. Karena kecewa, pemilik kafe saat itu, Mustafa El-Fishawi, mati secara mendadak. Anehnya, kuda kesayangan pemilik kafe ini pun turut mati menyusul tuannya. Cerita tragis tersebut hingga kini terus menjadi cerita turun-temurun.
Pada awal abad ke-20, Kafe El-Fishawi menjadi primadona. Tokoh besar Mesir seperti Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Umar Makram, Syekh Al-Basyari, dan Abdullah al-Nadim sering terlibat diskusi hangat di kafe ini. Raksasa sastra Mesir, Naguib Mahfouz --pemenang Hadiah Nobel Sastra 1988-- juga mulai membentuk pola pikir dan tulisannya di kafe ini.
Kafe El-Fishawi berdekatan dengan perpustakaan Al-Gouri milik Kementerian Wakaf tempat Mahfouz bekerja. Mahfouz memiliki tempat khusus di pojok kafe untuk menyendiri dan merenung. Beberapa karya emas mengalir dari tangan Naguib Mahfuoz lewat kafe ini, yakni: Khan Khalili, al-Bidayah wa al-Nihayah, Awlad Haratina, dan lain lain.
Saat ini pojok tempat Mahfouz berkontemplasi diabadikan dan diberi nama Rakn (Pojok) Naguib Mahfouz. Potret Mahfouz muda yang sedang duduk di Kafe El-Fishawi tergantung di ruangan itu bersama potret Amr Musa, Sekjen Liga Arab. Mahfouz ditemani gambar besar Syekh El-Fishawi kakek pendiri Kafe El-Fishawi.
Kafe El-Fishawi juga punya sederet tanda tangan dan catatan tokoh besar yang pernah berkunjung. Seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad 'Abduh, Saa'ad Zaghlul, Mustafa Kamil, Abbas Mahmud Akkad, Ahmad Amin, Thaha Husein, dan Ahmad Syauqi.
Koleksi Tokoh Ternama
JUGA ada goresan tangan musisi Mesir ternama Muhammad 'Abdul Wahab, penyanyi legendaris Umm Kultsum, penyair Ahmad Rami, dan tokoh-tokoh Revolusi 1952: Muhammad Naguib, presiden pertama Mesir, Gamal Abd Naser, serta Anwar Sadat. Catatan dan tanda tangan mereka tersimpan rapi dalam sebuah buku pengunjung.
Salah satu contoh catatan dan tanda tangan dari mereka adalah: "Salam penuh cinta untuk tanahku tercinta, Kafe El-Fishawi. Semoga Allah mengabadikan usianya dan orang-orang yang datang mengunjunginya. Salam hormat, Naguib Mahfouz 23/12/1982."
Pada saat ini, aktivitas sastra di kafe El-Fishawi tidak seramai dulu. Tetapi, menurut Akram Mustafa El-Fishawi, tidak sedikit tokoh sastrawan Mesir masih sering datang untuk sekadar minum teh, menyedot shisha, dan mengingat-ingat masa lalu di pojok Naguib Mahfouz.
"Meskipun tempat ini tidak seperti dulu lagi, namun para sastrawan tetap memiliki kepentingan untuk merasakan romantisme historis di tempat bersejarah ini. Dan mereka tidak akan mampu menemukan perasaan itu kecuali di tempat ini." Kata Akram.
Sejauh pengamatan Gatra, Kafe El-Fishawi memang telah berubah fungsi. Saat ini tidak lebih dari sekadar tempat melepas lelah para pembeli yang kecapaian berputar-putar di Pasar Khan Khalili. Beberapa orang datang hanya untuk menyeruput teh hijau minuman khas Kafe El-Fishawi yang konon bisa menghancurkan lemak.
Lebih Tua daripada Republik
PERUBAHAN fungsi ini diakui secara jujur oleh Akram El-Fishawi yang biasa dipanggil mu'allim (master). "Zaman sekarang bukan lagi seperti zaman dulu. Puluhan ribu kafe telah berdiri di Kairo. Meskipun begitu, semua orang pun tahu, Kafe El-Fishawi satu-satunya kafe yang memiliki akar historis lebih tua daripada umur republik ini," katanya.
Akram El-Fishawi menganggap kafe ini warisan sejarah yang bernilai tinggi. "Meski kafe ini mungkin tidak seperti dahulu, saya harus tetap menjaganya," katanya. Kafe El-Fishiwa kini memang tidak semenarik dulu. Pelataran depan kafe ini berebut dengan lorong sempit tempat orang lalu-lalang.
Tetapi sejarah seolah mengabadikan kafe ini. Meskipun telah ada kafe bernama Naguib Mahfouz yang jauh lebih indah dan modern di dekatnya, Kafe El-Fishawi tetap terkenal sebagai kafenya Naguib Mahfouz. Tanyalah pada orang yang lalu lalang di lorong Pasar Khan Khalili, "Di mana kafe Naguib Mahfouz?" Niscaya semua orang akan mengantarkan Anda ke Kafe El-Fishawi.
"Kafe yang paling banyak memberikan ilham, ide dan alur cerita kepadaku adalah El-Fishawi," demikian pengakuan Naguib Mahfouz dalam buku Hara'iq Kalam fi Maqahi al-Qahirah. Bagi Mahfouz, ilham tidak datang dari bangunan kafe yang sudah dimakan usia. Kafe ini menumpahkan ide ke kepala Mahfouz melalui bibir mereka yang duduk ngobrol bersamanya.
Naguib Mahfouz: Peraih Nobel yang "Gila" Kafe
TAK ada sastrawan Mesir yang gila kafe melebihi Naguib Mahfouz. Kakek kelahiran 1911 di Abbasea, Kairo, ini menghabiskan hampir seluruh umurnya di kafe. Mulai kafe rakyat di tempat kelahirannya, Abbasea, Husein, hingga Kasino Kafe Kasr Nil dan Kafe Ali Baba di bundaran Tahrir. Seandainya Naguib tidak dimakan usia dan tidak ada fundamentalis yang mencoba membunuhnya, niscaya hingga kini ia masih kongko-kongko di kafe.
Sejak mengalami upaya pembunuhan pada 1994, Naguib tidak lagi berani duduk di kafe-kafe tepi jalan. Dia pindah ke kafe-kafe hotel berbintang lima dan kapal pesiar di Sungai Nil. Kapal pesiar yang sering dikunjunginya adalah Farah Boat. Jika tak keluar rumah, sosok tua itu kini menghabiskan hari-harinya di sebuah kamar rumahnya yang diberi nama "kafe".
Kafe tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Naguib Mahfouz. Karya-karya terpentingnya seperti Qashr Syawq (Istana Rindu), al-Sakariyah, dan Bayna Qashrayn (Antara Dua Istana) lahir di kafe. Di Kafe Opera yang berornamen Eropa, Naguib memulai forum sastranya sejak tahun 1940, setiap Jumat, jam 10.00-13.00.
Menurut kritikus sastra Jamal al-Ghaythani, forum sastra tersebut banyak dihadiri sastrawan senior dan junior. Dari forum ini, kelak lahir generasi sastrawan Mesir angkatan 1960-an. Selepas diskusi di Kafe Opera, Naguib dan teman-temannya akan melanjutkan obrolan di salah satu kafe rakyat di Azbakia.
Pada 1962, forum sastra Kafe Opera dilarang aparat keamanan. Dua tahun kemudian, Naguib memulai forum sastranya di Klub Qishshah, namun hanya bertahan beberapa minggu. Lalu pindah ke Kafe Sphinx di depan Bioskop Radio. Kafe ini kemudian berubah jadi toko sepatu. Naguib pun kemudian pindah ke Kafe Riche.
Menurut Magdi Abd Mullak, pemilik Kafe Riche, forum sastra Naguib bertahan selama 17 tahun. Tradisi Naguib ini dipertahankan sampai sekarang. Tiap hari Jumat jam 10 pagi, Magdi menggelar acara "sarapan sastra" bersama kalangan sastrawan, wartawan, dan penulis Mesir.
Setelah 17 tahun bersama Kafe Riche, Naguib terpaksa pindah Kafe Kasr Nil karena pemerintah menutup Riche setiap hari Jumat. Naguib terkenal sosok yang akrab, penuh humor, dan familiar. Setiap pengunjung kafe pasti mengenali tawa Naguib yang terbahak-bahak. Naguib menyediakan hari Kamis untuk bertemu teman-teman lamanya.
Dalam bukunya, Haraiq al-Kalam fi Maqahi al-Qahirah (Kobaran Kata di Kafe-kafe Kairo), Naguib menulis pengakuannya tentang kehidupan kafe. "Selain Kafe Qasytamar, Arabi, dan El-Fishawi untuk menjumpai teman-teman lama, aku juga sering mengunjungi beberapa kafe lain, bertemu kalangan sastrawan dan intelektual," tulis Naguib.
Naguib sering duduk di Kafe Ummi Kultsum, bundaran Arabi. Di musim panas, ia berjalan kaki dari rumahnya menuju kafeteria Hotel Shahr Zad untuk minum teh dan membaca koran pagi. Naguib punya kesan berbeda antara kafe rakyat dan kafe Eropa. "Jika pergi ke kafe rakyat, kamu tidak butuh teman. Kamu akan banyak menemukan teman ngobrol," katanya.
Sedangkan pada kafe lain, seperti kafe bergaya Eropa, Naguib berpesan, "Jika kamu pergi sendiri, maka kamu akan sendirian sepanjang waktu." Kafe-kafe di tengah kota Kairo, bagi Naguib, adalah tempat berjanji dan menunggu teman-temannya sebelum pergi ke bioskop dan teater. Ia pernah menulis skenario film yang disutradarai Salah Abu Saif di kafe Taryabon di Iskandariyah, serta menulis skenario film Raya wa Sikkina di Kafe Galemo Nobolo.
"Novel-novel karyaku tidak bisa aku tulis kecuali di atas meja, baik di rumahku maupun di kantorku," tulis Naguib. "Tetapi aku sering mencari ide dan alur cerita novel sewaktu duduk-duduk di kafe, kemudian aku menulisnya sewaktu pulang." Kafe yang paling banyak memberinya ilham, ide, dan alur cerita karya-karyanya adalah Kafe El-Fishawi.
Menurut Dr. Adil Mohamed Atha Ilyas, penulis disertasi tentang karya Naguib, al-Lishsh wa al-kilâb (Pencuri dan Anjing-anjing), mengutip pernyataan Naguib bahwa universalitas (al-'âlamiyah) dimulai dari lokalitas (al-mahalliyah). Novel-novel Naguib semuanya bercerita tentang peristiwa dan tempat sekelilingnya. Kafe, bagi Naguib, menyajikan miniatur masyarakat sekitarnya karena di sanalah bertemu segala lapisan masyarakat.
Samir Sarhan: Dari Kafe Indiana ke Universitas Indiana
PROYEK buku murah Pemerintah Mesir dengan moto "Membaca untuk Semua Kalangan" tak lepas dari peran Dr. Samir Sarhan, Ketua Lembaga Umum Buku Mesir. Sastrawan Mesir ini berhasil memasyarakatkan buku dan tradisi membaca. Di tangan Samir pula, Pameran Buku Internasional Mesir diadakan tiap tahun.
Tahun 1980-an, Samir menerbitkan biografinya berjudul, 'Ala Maqha al-Hayah (Di Kafe Kehidupan). Pilihan judul ini memiliki alasan tersendiri. Samir, sebagaimana Naguib Mahfouz, menghabiskan sebagian besar usianya di kafe-kafe. Pengenalannya pada dunia sastra dimulai dari Kafe Abdullah di bundaran Giza, tahun 1950-an.
Ketika itu, Kafe Abdullah menjadi ajang pertemuan para sastrawan dan kritikus sastra: Abd Kadir el-Kit, Lewis Iwadl, Anwar al-Ma'dawi, Salah Abd Sabur, Mahmud al-Sa'dani, dan lain-lain. Diam-diam, Samir yang baru berumur 16 tahun mengamati keasyikan mereka berdiskusi. Samir ingin sekali masuk komunitas itu dan berdiskusi.
Tapi, Samir sadar ia belum punya satu karya pun. Namun, Samir terus menguping pembicaraan para sastrawan itu tentang sastra Arab dan Barat. Dalam banyak segi, Samir cukup paham karena banyak membaca sastra Arab dan Barat. Maka, tekad Samir untuk bergabung pun makin kuat. Samir mulai menulis cerita pendek dan menerjemahkan beberapa cerpen asing.
Karya pertama Samir diberi judul Tujuh Mulut. Setelah merasa cukup baik, Samir pergi ke Dar al-Fikr al-Arabi, penerbit ternama waktu itu. Pemilik Dar al-Fikir al-Arabi, Abd Munim, jelas tidak mau gegabah menerbitkan karya orang yang belum terkenal. Munim hanya mau menerbitkan bila karya Samir diberi pengantar kritikus sastra terkenal waktu itu, Anwar al-Ma'dawi.
Samir bergegas ke Kafe Abdullah dan menyerahkan karyanya kepada Anwar al-Ma'dawi untuk dikaji dan diberi pengantar. Anwar terkejut. Pemuda yang sering dilihatnya memperhatikan pembicaraan sastrawan tersebut datang membawa karya. Anwar berjanji mempelajari naskah Samir dan akan memberi pengantar khusus.
Janji Anwar ditepati. Akhirnya, Tujuh Mulut diterbitkan Dar al-Fikir al-Arabi. Dengan terbitnya karya pertama tersebut, Samir merasa telah hidup seratus tahun! Sejak itu, Samir menjadi bagian komunitas sastrawan Kafe Abdullah. Setelah berkali-kali mengikuti diskusi, dia merasa masih bodoh. Itu membuatnya makin semangat membaca dan berkarya.
Suatu hari, komunitas Kafe Abdullah pindah ke Kafe Indiana di Dokki, tidak begitu jauh. Bedanya, Kafe Abdullah terletak di bundaran Giza yang dikelilingi masyarakat kelas bawah. Sedangkan Kafe Indiana dikepung masyarakat kelas menengah dan atas.
Bagi Samir, perpindahan itu berarti perpindahan dunia. Perpindahan ide dan inspirasi. Masyarakat yang datang membawa permasalahan berbeda dari kafe satu dengan kafe lain. Letak kafe dan pengunjung kafe sangat menentukan kehidupan di dalamnya.
Masa muda Samir berbeda dengan pemuda Mesir lain yang lebih menyukai tempat hiburan dan bioskop. Samir menghabiskan masa mudanya berdialog dengan para sastrawan dari kafe ke kafe. Setelah menamatkan S-1 jurusan sastra Inggris di Universitas Kairo, Samir pun mendapat beasiswa melanjutkan studi di Amerika Serikat.
Samir terkejut karena ditempatkan di Universitas Indiana, nama yang sangat familiar dengannya. Perpindahan hidup kembali dijalani Samir dari Kafe Indiana ke Universitas Indiana. Toh, kehidupan Samir di Amerika tidak berubah, banyak dihabiskan membaca buku di kafe-kafe.
Tidak banyak kesan yang didapat kecuali dia bisa membaca buku sastra sebanyak-banyaknya. Setelah tamat, Samir kembali ke Mesir. Tempat yang dia kunjungi lebih dahulu adalah kafe-kafe yang pernah mempertemukannya dengan para sastrawan Mesir.
Mulailah Samir Sarhan mengawali kehidupannya seperti semula, berdiskusi, mencari ide dari kafe ke kafe. Kafe Abdullah di Giza, Kafe Indiana di Dokki, dan Kafe Riche di bundaran Tal'at Harb. Bagi Samir, kafe adalah kehidupan itu sendiri. Dari kafe dia merasa banyak belajar tentang kehidupan dan mendapatkan inspirasi.
Dari tulisan : Mohamad Guntur Romli (Kairo)
sumber : milis ikbal_alamien
5/31/2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
[url=http://firgonbares.net/][img]http://firgonbares.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]ms office 2008 software, [url=http://firgonbares.net/]microsoft office suite student discount[/url]
[url=http://firgonbares.net/][/url] on software purchases compare software prices
desktop software canada [url=http://firgonbares.net/]does oem software[/url] cheapest software anywhere coupon
[url=http://firgonbares.net/]kaspersky free key[/url] p2 store software
[url=http://firgonbares.net/]academic software projects[/url] online store software reviews
autocad job ireland [url=http://firgonbares.net/]software for shop[/b]
Yes if the truth be known, in some moments I can bruit about that I approve of with you, but you may be in the light of other options.
to the article there is even now a definitely as you did in the go over like a lead balloon a fall in love with issue of this request www.google.com/ie?as_q=open office ?
I noticed the utter you have not used. Or you profit by the dreary methods of helping of the resource. I take a week and do necheg
Post a Comment