2/11/2004

Catatan Dalam Buku Hitam #1

Jakarta, 3 Februari 2004 - 00.31 WIB

Sejak pesan itu kuterima, pikiranku langsung bercabang kemana-mana dan berpacu meninggalkan waktu yang aku tau pasti itu tak mungkin, namun begitulah keadaannya. Aku tau ujung dari semua percabangan itu hanya satu ... pulang saat itu juga !

Firasat ?
31 Januari 2004 - 21.45

Apakah masih ada yang menjajakan tiket sekarang ? Yamaha Vega pinjaman itu kupacu, darah biker yang pernah singgah waktu SMA dulu kembali mendidih ! 90 - 110 km/jam ! tapi seketika surut juga jika mataku tertatap bekas luka di tangan sebelah kanan.

Tak satu pun yang buka, bahkan Kartika Graha pun udah tutup. Besok ? yah semoga saja besok aku peroleh tiket surabaya - padang, semoga saja harganya tetap sama. Masihkah memikirkan harga dalam kondisi seperti ini ? Udahlah... yang jelas aku bisa cepat pulang.
Kembali dengan tangan hampa, bak tentara pulang kalah perang kakiku gontai menaiki tangga. Ucapanku tinggal semoga, sempga...dan semoga. Banyak pesan yang tak kubalas, sengaja memang. Sengaja berdiam diri, sengaja kutelan sendiri. Ini problem pribadiku, tak sepatutnya problemku merenggut kebahagiaan mereka yang sudah tertuang sejak tadi, bahkan sejak kemaren. Senyum, ya ... aku hanya ingin mereka selalu tersenyum, karena senyum itu membuat aku kokoh !

Tak sempat atau boleh dibilang tak mampu aku pejamkan mata walau hanya sesaat. Seperti sebelumnya pikiran ini masih melayang. Sejak keberadaanku di kota bunga ini setelah lebaran ini bayak sekali nikmat Allah SWt yang kembali di ambil oleh Nya. Berawal dari keberangkatanku yang diiringi dengan kedua kaki ibuku yang sakit. 2 hari menghirup udara di Malang, panas dalam dan demam menyerang kakakku no 4,
Hm... awal yang baik untuk sebuah cobaan. Sehari sesudah itu Ayah Ardi (Sodaraku di Kedokteran - red) meningga dunia, penyebabnya stroke !. Padahal 3 hari sebelumnya masih kelihatan sehat walafiat alias segar bugar. "tabahkan hatimu bro".

Apa ini ? Peringatan jalan ke depan kah ? Belum usai kabar dari Jakarta disambut dengan Banjir yang menimpa Ni Nen di Jambi. Pesan beruntun aku terima, tapi apa daya hanya do'a yang bisa ku panjatkan, tak lebih tak kurang. Untuk mengirimkan materi pun aku tak mampu. Serasa sekali aku hidup bagai orang tak berguna disaat kakakku butuh bantuan aku hany bisa mengisap jempol ! ya... menghisap jempol ! Beberapa ratus ribu saku tak bisa ?!, maafkan adikmu ini Ni, aku tak bisa berbuat apa-apa.

2 Hari aku mengikuti perkembangan banjir di Jambi melalu internet,tiba-tiba mataku tersentak melihat pesan "Dewi kena serangan tipus, mohon bantuannya segera". Belum lepas dari taring srigala mulut buaya udah merampas dengan tiba-tiba, inikah yang namanya ujian itu ? Dewi ... seorang adik yang punya semangat juang tinggi, aku sendiripun gak akan kuat seperti dia tak kan mampu seperti dia. Terhalang oleh mata yang hanya mampu membaca dalam jarak 10 cm, dan melihat dalam jarak 3 meter lebih dari itu kabur sudah gara-gara katarak yang dibawanya sejak lahir.

Allah SWT memang adil dan berkuasa atas segala sesuatu. Sejak SD dia selalu meraih peringkat pertama sampai akhir SMP. di SMU deretan 10 besar pun tak ketinggalan, dan sekarang kesempatan kuliah di Universitas Jambi pun dia raih dengan mengikuti ujian hanya sekali...ya, sekali ! Salut...sungguh aku salut, jika aku yang menderita kelainan pada mata tersebut mungkin aku akan selalu berada di rumah. Tetapi dia tidak, pemikiran yang jempolan, tidak mengedepankan kelemahannya bahkan mampu berprestasi.
Namun saat ini dia lagi terbaring tak berdaya di sal rumah sakit, dan sedangkan aku ? lagi-lagi berucap tak mampu memberikan apa-ap. bodoh ! sangat bodoh ! sampai kapan aku terus ebgini ? sampai kapan ?!

Hari berganti dan waktupun berlalu meninggalkan jejak yang tergores dalam perjalanan hidup. 3 Hari terakhir Ni nen sudah kembali ke rumah setelah beberapa hari terpaksa hidup di tenda-tenda penampungan, Dewi kondisinya sudah mulai normal kembali dan ... pesan berawal dari "Kakak lagi ke rumah sakit, Ayah lagi chek up". Ini check up ataukah ? awal dari segalanya ? tidak berselang beberapa jam setelah itu "Pamanmu, Mak Karoni udah dipanggil oleh Allah SWT tadi sore jam 5, Innalillahi". Bergetar tanganku menerima pesan barusan, Ya Allah apa sebenarnya ini ? Inikah pertanda dari Mu ?

Seiring dengan berjalannya matahari dari timur ke barat kemudian tenggelam...hari kemaren ... dan tibalah disaat awal klimaks, ya inilah puncak dari semuanya, atau masih adakah puncak yang lebih dahsyat dari ini ?
"Ayah di operasi !" Apakah semua yang sebelum ini adalah pertanda untuk yang satu ini ? atau mungkin Engkau telah mengatur satu hal yang lain yang tak dapat ku ketahui sekarang ?

Bumi ini terus berputar, dan aku tak tahu arahnya kemana ... karena itu adalah rahasia

Teman Perjalanan
01 Februari 2004 - 12.05 WIB

Tas ransel ( Carrier - red ) sebesar badanku lebih sedikit langsung kusandang. Satu persatu aku pamiti.
"Hati-hati di jalan ! Salam buat keluarga ! oleh-oleh nya !", kata-kata yang sudah jadi trade mark bagi siapa aja yang mo bertolak diantara kami. Setelah ngerasa semuanya cukup, perlahan perjalanan kuawali dengan melangkahkan kaki kerumah adik yang satu ini. Dia gak jadi pulang, ya... ada garis-garis kekecewaan disaat melepas aku berangkat pergi. Sabar ... semua itu ujian pendewasaan.

2 Kaki ini kulangkahkan lagi ke rumah adikku yang satu lagi, Ada beberapa titipan yang akan ku bawa menuju kampung tercinta. Makanya Carrier segede gaban ini nyangkut dipundakku biar semua titipannya bisa kebawa. "ting ! tong !" suara bel memecah kesunyian kos yang isinya kurang lebih 40 mahasiswi dan rata-rata udah punya pacar semuanya ( maap buat sodara-sodara yang berniat mendaftar )
"Nyari siapa ?" sebuah suara yang meluncur bagai tersumbat sesuatu, lagi makan kok tereak-terak ?
"Ie-ie nya ada mbak ?" Aku jawab sambil pantatku pun ikut terhentak dibangku beton tempat biasanya cewek-cowok pada mojok atau untuk tamu seperti aku yang manyun sendirian menunggu.

Satu-persatu penghuni rumah itu keluar masuk dan tak lepas dari perhatian 2 mataku. Merekapun juga begitu, melihat aku aneh ! ya .. aneh. "Ini orang mo naik kemana yah ?" hahaha aku ketawa dalam hati, sorry ini udah jadi stylenya padang kalo pergi kemana-mana apalagi bepergian jauh. Semua accecories climb terpasang lengkap, celana tracking, baju lapangan, carrires, sendal gunung, bandana, dan yang lainnya bahkan sleeping bag juga aku bawa. soalnya aku tau ntar dijalanan aku gak bakal tidur di hotel atau losmen, tempat tidurku di pelataran masjid. Lengkap sudah, tanpa ditanyapun orang dah ngira kalau aku naik gunung... padahal pulang kampung hehe.

Sorry ini bukan kenapa-kenapa, ini cuma antisipasi soalnya dijalanan itu kejam. apalagi Jakarta, uang itu gampang melayang jangankan uang nyawa pun bisa hilang. Sepanjang sejarah aku bepergian seperti itu alhamdulillah belum satu tangan pun yang menyentuhku, alias lancar-lancar saja. Mau tidur dimanapun gak ada yang ganggu,dah ketahuan kere nya haha !
Ternyata aku berangkat ke stasiun tidak sendirian, adik dan 2 temannya yang juga mo ke jakartamenambah sesaknya lobi tangga stasiun Kota Baru Malang.

Sebentar lagi perjalanan panjang dalam harap kecemasan di mulai, semoga cerita tak berubah menjadi lain

Samping Gerbong Kereta Matarmaja
14.01 WIB

Pluit berbunyi, 8 gerbong merah biru tua berderet rapi didepan mataku. Kaca-kaca kotor kena lumpur belum dicuci entah sudah berapa minggu, sebagian juga ada yang pecah gara-gara lemparan batu. Sejenak aku melongok ke dalam hm... lumayan. Perlahan ku rogoh saku kanan baju dan mengeluarkan selembar kertas tebal 0.3 cm, panjangnya 7.5 cm lebar 4 cm dibagian belakang terdapat kertas tempelan warna merah muda dengan tulisan Gerbong 7 No. 2A. Kaki ku masuk ke dalam gerbong 7, melirik ke kanan tertera 3D - 3E. Spontan mataku melirik ke kiri kelihatan tulisan 2A - 2B. Nah disini aku duduk untuk perjalanan kali ini, bangku dengan kapasitas 2 orang tepat disamping pintu masuk.

Penuh sesak, tua muda, cewek cowok, bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak pun berebutan mencari tempat duduk, ah ternyata bukan.. mereka berebut tempat barang yang tergantung di dinding gerbong bagian dalam.
"Cepat tarok barang nya le... ntar gak kebagian" seorang bapak menyuruh anaknya untuk segera menarok barang bawaannya disana, aku cuma begong sambil megang carrier. lah ini mo ditarok dimana ya ? sekilas di No 3D masih kosong, secepat kilat aku bergerak kesana... dan hap ! carrier ku udah bertengger, sip !

Sejenak aku melepas lelah dari kebisingan dan kecapekan, aku duduk di bangku sesuai dengan tiketku tadi. Kulepaskan pandanganku menembus kaca jendela, cerah juga hari ini. Tapi tiba-tiba perasaan ku jadi aneh, apa ini ? hidungku perlahan mencium bau yang sangat ku kenal setiap ke kamar mandi. o..ow ! pesing ! yap... bau pesing ! kamar kecil disebelah pintu masuk bagian luar gak dibersihkan, wadaw ... ini mah masalah. Duduk 22 jam diselimuti bau pesing ? kayak terkurung dalam wc aja !

Bergidik telingaku menerima sebuah bisikan entah dari mana " Tuan, masih beruntung kamu mendapatkan tempat duduk. Lihat orang disebelahmu mereka tidak bisa duduk dengan tenang seperti anda. mereka harus berdiri, bahkan mungkin nanti kudu sembunyi disaat ada pemeriksaan tiket. Bersyukurlah tuan !". hk ! aku tersentak kaget, benar apa yang dibilang barusan. Tapi siapa yang membisikkan itu ? siapa yang sudah memperingatkan aku ? Perlahan aku berdiri, memberikan kesempatan pada orang tadi untuk sejenak duduk. Keringatnya mengucur deras, terlihat sekali di wajahnya yang berwarna hitam karena sengatan matahari. "Monggo pak !" aku mempersilahkan dia untuk duduk "Oh makasih mas, saya cuma sampai Blitar kok" Orang itu tersenyum tulus, kelihatan sekali bibir nya melebar gak dibua-buat. " oh gak papa pak, saya mo jalan-jalan kedepan dulu. Lagian kerete juga belum jalan" tanpa menunggu jawaban akupun beralih ke gerbong depan.

Di gerbong depan aku lihat hanya segelintir orang disana, lho ? pada kemana ? kok kosong gini ? perlahan au cari tempat yang enak. yap ... ini dia, aku duduk perlahan menikmati sepi nya gerbong. Di depanku ada beberapa tua muda laki semua, bercerita berbahasa jawa. Sesekali mataku memperhatikan mereka tetapi lebih banyak memperhatikan rumput yang digoyang angin. Tiba-tiba aku teringat bau pesing tadi... Alhamdulillah, untuk beberapa saat. Semoga bapak tadi juga berucap hal yang sama. Aku tersenyum lepas, selepas pandanganku ke langit dan perlahan mata ku pejamkan dengan punggung kusandarkan ... hitam, kelam dan akupun terlelap.

Cerita Belum Usai
16.20 WIB

Seketika gerbong menjadi rame, aku tersentak dan ... berbagai suara bahkan bau menjadi satu, campur aduk membuat aroma khas Kereta Api kelas Ekonomi. Ya... ini dia aroma khas dari gerbong berisikan orang-orang "kelas bawah" maaf aku pakai istilah mereka yang berada di kursi perwakilan gedung mewah sana. Istilah yang mereka cap kan untuk orang-orang yang berkeringat disini, orang-orang yang bersuara serak di dalam gerbong ini. Orang-orang yang mengusir hawa panas dengan membuka baju dan mengibaskan ke tubuh mereka, orang-orang yang masih saja menawar untuk sebungkus nasi seharga Rp 1.500,- , orang-orang yang mereka anggap bodoh ! najis ! akhhh ! aku bergolak sendiri.

Masih pantaskah mereka disebut sebagai perwakilan, masih pantaskah mereka disebut sebagai dewan ? izinkan aku memakai istilah untuk mereka, untuk "hewan" yang tertawa terbahak-bahak di gedung sana, untuk "hewan" yang tersenyum renyah disaat salah seorang di gerbong ini harus menyapu sampah, mengumpulkan bekas tempat minum orang lain demi sekeping receh... ya sekeping receh ! bukan sesuap nasi tuan ! bukan !!!

... tunggu sejenak cerita masih berlanjut,

Inilah bagian dari duniaku, sejak pertama kali menjejakkan kaki di pulau ini sampai saat sekarang aroma khas itu masih bersahabat lekat dengan penciumanku. Setiap tahun, setiap saat ke arah barat aku pergi ataupun ke arah timur aku kembali. Memang ditakdirkan untuk menjadi bagian dari semua aroma yang begitu mendalam dalam paru-paruku, bersarang bak nikotine seorang perokok. Tapi ini bukan penyebab kanker, bukan sesuatu yang merugikan namun itulah kenyataan.

Aku beralih ke tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di lembaran tiket yang ku pegang. Seharusnya begitu karena gerbong ini sudah penuh sesak seperti yang lain. Aku lirik sekilas kamar kecil tempat pembuangan 160 orang dalam 1 gerbong. piyuh ! lumayan ... menusuk tajam, padahal kereta dalam keadaan melaju kencang. setidaknya itu bau bisa ternetralisir oleh angin yang menerpa, tetapi ini malah tidak. hehe selamat menikmati dang !

Pintu kamar kecil tersebut kututup erat, dan aku pun beralih ke tempat duduk. lho bapak tadi kemana ? oh dah turun ya. hmm... ya sutralah, sekarang saatnya untuk nutup mata. tidur lagi ? iya dong... perjalanan masih panjang, selagi masih bisa tidur kenapa gak tidur aja ? perlahan kaki kunaikkan keatas bangku yang memang disebelahku gak ada sapa-sapa. Ah mungkin mereka gak tahan dengan bau pesing yang bikin pusing. Aku ? huhuhu maap ... itu pesing ntar lagi juga ilang kalo kereta dah jalan... tuh kan sekarang buktinya gak kecium lagi.

Kepalaku bagian kanan bersandar di sandaran kursi, kakiku menekuk, tanganku melipat, dan mataku mulai kembali terpejam dan kali ini terlalu dalam

No comments: